Uni Eropa menunda penerapan kebijakan European Union on Deforestation (EUDR) atau Undang-Undang Antideforestasi hingga 2025 mendatang. Regulasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa produk-produk yang dipasarkan di Uni Eropa seperti minyak kelapa sawit, kayu, kopi, kakao, karet, kedelai, ternak, dan produk turunannya tidak berkontribusi pada deforestasi dan degradasi hutan global. Penundaan pemberlakuan kebijakan tersebut mempertimbangkan beberapa hal, salah satu diantaranya adalah kesiapan para pelaku industri dari negara-negara mitra dagang di luar Uni Eropa. Kabarnya, regulasi anti deforestasi yang dirancang sejak 2021 tersebut akan mulai diberlakukan pada 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar dan menengah, dan 30 Juni 2026 untuk usaha mikro dan kecil.
5 Mengapa Eropa menerapkan kebijakan EUDR?
Alasan utama Uni Eropa mengeluarkan Kebijakan Deforestasi (EU Deforestation Regulation atau EUDR) adalah untuk mengatasi masalah global yang mendesak. Yaitu deforestasi yang terus meningkat dan dampak lingkungan yang merusak akibat ekspansi komoditas seperti minyak kelapa sawit, kayu, kopi, kakao, dan karet. Kebijakan ini lahir dari kesadaran Eropa akan tanggung jawab mereka sebagai salah satu pasar terbesar bagi komoditas-komoditas tersebut, yang seringkali berasal dari kawasan yang mengalami penebangan hutan. Uni Eropa ingin memastikan bahwa komoditas yang masuk ke pasarnya tidak berkontribusi pada deforestasi dan menjaga lingkungan dunia tetap lestari.
1. Perlindungan Hutan Global
Hutan tropis di dunia merupakan rumah bagi sekitar 80% keanekaragaman hayati global. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, laju kehilangan hutan semakin meningkat karena ekspansi lahan untuk komoditas komersial. Dengan mengurangi deforestasi, terutama di wilayah tropis yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, Eropa berharap dapat melindungi ekosistem dan spesies yang terancam punah.
2. Pengurangan Emisi Karbon
Deforestasi merupakan salah satu penyebab utama emisi gas rumah kaca, terutama karena pohon-pohon menyerap CO₂. Menebang hutan mengurangi penyerapan karbon dan melepaskan karbon yang tersimpan dalam tanah dan biomassa hutan. Kebijakan EUDR diharapkan dapat mengurangi emisi karbon secara signifikan dengan mencegah penggunaan lahan hutan untuk produksi komoditas.
3. Kepedulian Konsumen Eropa
Banyak konsumen di Eropa semakin peduli terhadap dampak lingkungan dari produk yang mereka gunakan. Dengan adanya EUDR, Uni Eropa juga ingin memastikan bahwa produk-produk di pasar mereka tidak berkontribusi pada deforestasi, sehingga konsumen dapat membuat pilihan yang lebih ramah lingkungan.
4. Tanggung Jawab Global
Eropa adalah salah satu pasar terbesar untuk komoditas seperti minyak kelapa sawit, kayu, kopi, kakao, dan karet, yang seringkali diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi. Dengan membuat kebijakan ini, Uni Eropa ingin berkontribusi secara langsung dalam mengurangi deforestasi global dan menunjukkan tanggung jawab dalam menjaga lingkungan yang lebih sehat dan lestari bagi warga dunia.
5. Mendorong Perubahan di Negara Produsen
Dengan memberlakukan standar yang ketat, Uni Eropa berharap dapat mendorong negara-negara produsen untuk beralih ke praktik produksi yang lebih berkelanjutan. Ini diharapkan akan memacu perubahan kebijakan lingkungan dan pengelolaan lahan di negara-negara tersebut, sehingga mengurangi deforestasi secara global.
Deforestasi dan regulasi SLVK untuk keberlanjutan hutan Indonesia
Deforestasi di Indonesia telah menjadi perhatian global, terutama terkait dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Menurut data dari Global Forest Watch, pada tahun 2023, Indonesia kehilangan sekitar 292.000 hektar hutan primer, yang setara dengan emisi 221 juta ton CO₂. Meskipun angka tersebut menunjukkan peningkatan dibanding tahun sebelumnya, secara historis, laju deforestasi masih lebih rendah dibanding puncaknya pada dekade 2010-an.
Perluasan perkebunan kelapa sawit karena meningkatnya konsumsi masyarakat dunia merupakan salah satu kontributor utama deforestasi di Indonesia. Pada tahun 2023, perluasan perkebunan sawit mengakibatkan hilangnya sekitar 30.000 hektar hutan, meningkat 36% dibanding tahun 2022. Namun, angka ini masih lebih rendah dibanding deforestasi akibat sawit pada tahun 2012, yang mencapai 227.000 hektar.
EUDR bukan hanya kebijakan lokal bagi Uni Eropa; ia memiliki kekuatan untuk menggeser standar global dalam hal sustainability dan tanggung jawab lingkungan. Pasar utama ekspor produk kayu Indonesia meliputi Asia (66,58%), Amerika Utara (14,24%), dan Uni Eropa (11,02%). Oleh karena itu, Eropa menetapkan standar yang ingin dicapai oleh negara-negara produsen agar dapat tetap bersaing. Kini Indonesia menghadapi tuntutan baru untuk memastikan rantai pasokan komoditas kayu dan turunannya seperti kayu lapis, furniture, dan produk woodworking lainnya bebas dari deforestasi agar produk mereka tetap diterima di pasar Eropa.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan kebijakan EUDR untuk industri kayu di Indonesia
Untuk menjaga kelestarian hutan, saat ini Indonesia telah menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). SVLK adalah sistem verifikasi yang memastikan bahwa semua kayu dan produk kayu di Indonesia bersumber dari sumber legal dan mengikuti prinsip keberlanjutan. Ini membantu menekan peredaran kayu ilegal dan memastikan bahwa hanya produk legal yang diekspor ke pasar internasional, termasuk Uni Eropa.
Sistem ini memastikan bahwa kayu yang diekspor ke berbagai negara, termasuk Uni Eropa, telah memenuhi standar keberlanjutan yang ketat. Tujuan utamanya adalah untuk menekan distribusi kayu ilegal sekaligus mengurangi risiko terjadinya deforestasi. SVLK mencakup seluruh rantai pasokan kayu, mulai dari proses penebangan di hutan hingga produk akhir. Diharapkan SVLK bisa memastikan bahwa semua tahap produksi, transportasi, dan pengolahan kayu mematuhi standar legalitas.
Apakah EUDR menjamin produk kayu lebih ramah lingkungan?
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) di Indonesia dan kebijakan Uni Eropa Deforestation Regulation (EUDR) memiliki tujuan yang sejalan. Meskipun SVLK dan EUDR memiliki tujuan keberlanjutan yang sama, terdapat beberapa perbedaan. SVLK berfokus pada legalitas kayu, memastikan bahwa kayu tersebut tidak ilegal dalam proses produksinya. Di sisi lain, EUDR menambahkan kriteria “bebas deforestasi”. Jadi, kayu yang diimpor ke Uni Eropa terjamin berasal dari lahan yang tidak mengalami deforestasi setelah 31 Desember 2020.
Ini berarti produk kayu Indonesia yang memenuhi standar SVLK masih perlu melalui verifikasi tambahan agar sesuai dengan EUDR. Dengan peraturan ini, eksportir harus memiliki dokumentasi yang lebih detail mengenai asal kayu dan sejarah lahan, agar memenuhi standar bebas deforestasi yang ditetapkan oleh EUDR.